JAKARTA – Terkait Pilkada di tengah pandemi covid 19, Ketua KISI Abdullah Kelrey mengajak semua pihak untuk bersama-sama mencari solusi agar Pilkada serentak 2020 ini tidak terjadi klaster baru covid-19.
“Harus ada solusi, bagaimana solusinya jika ditunda atau jika dilaksanakan. Jangan sampai pemerintah merasa mengurus ini sendiri. Kami berharap ada solusi terbaik. Karena pilkada dilanjutkan dan ditunda pun seperti buah simalakama,” ungkap Abdullah Kelrey.
Hal itu mengemuka dalam webinar “Deteksi Dini Klaster Baru Covid-19 Pada Pilkada Serentak 2020” yang diselenggarakan oleh Kajian Informasi Strategis Indonesia, Sabtu (19/9/2020).
Menurutnya, jika ada klaster baru bagaimana solusinya, dan cara mengantisipasinya.
“Kita jalankan apa yang dilaksanakan oleh negara, agar negara dan masyarakat tidak rugi dan Pilkada berjalan sebagaimana mestinya,” ujarnya lagi.
Sementara itu, Praktisi Hukum Adhel Setiawan menjelaskan bahwa UUD 1945 jelas meletakkan tujuan negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum melindungi tumpah darah Indonesia. Ada poin perlindungan.
“Yang kita bahas perlindungan nyawa, termasuk ancaman dari wabah penyakit. Ini landasan konstitusional pemerintah melindungi rakyat Indonesia dari wabah penyakit,” sebut Adhel.
Dikatakannya, KPU sudah mengeluarkan PKPU No. 10, yang jadi kontroversi yaitu memberi kesempatan peserta pilkada melakukan arak-arakan atau kampanye terbuka yang melibatkan massa. Ini harus dikritisi, ditinjau ulang. Ini pesta demokrasi yang jelas ada kemungkinan pengumpulan massa.
“Jadi jika dikaitkan dengan kewajiban pemerintah tadi, menurut saya PKPU ini tidak menjiwai, tidak sensitif terhadap landasan konstitusional ini. Apalagi saat ini wabah Covid-19 terus meningkat kejadiannya,” terangnya.
Dia menyarankan agar KPU dan Penyelenggara yang lain mengeluarkan peraturan khusus untuk mencegah wabah, bukan memberi kelonggaran untuk kerumunan massa. Walau melaksanakan protokol kesehatan, tetap saja kerumunan tak bisa dihindari.
“Maka seluruh stakeholder harus bekerjasama untuk meninjau ulang PKPU ini, ditinjau secara hukum. Jika KPU tetap tidak meninjau ulang maka bisa digugat melalui mekanisme hukum yang ada. Pilkada ini penting, tapi kita harus utamakan keselamatan rakyat Indonesia apalagi itu sudah diamanatkan dalam Konstitusi,” sebutnya.
Ditempat yang sama, Ketua Umum HMI MPO Ahmad Latupono berharap penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 semua pihak harus tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Kendati demikian, lanjut dia, ada sedikit kendala di dalam Pilkada 2020 kali ini yakni tidak ada sanksinya bila ada kerumunan massa peserta pilkada.
“Pelanggaran protokol kesehatan juga tidak memberi sanksi pidana bagi kontestan, hanya sanksi sosial,” ucap Ahmad Latupono.
Walau Pilkada 2020 mengutamakan protokol kesehatan, tapi bisa di lihat di proses pendaftaran Pilkada 2020. Mereka pakai masker namun tidak ada menjaga jarak, ini adalah sebuah problem.
“Apa harus direvisi UU No. 2 Tahun 2020? Tentunya tidak bisa, karena waktunya sudah mepet,” terang Ahmad Latupono.
Pilkada 2020, kata dia, memilih pemimpin amanah jujur dan memperjuangkan daerahnya. Tapi kondisi sekarang sangat jauh, berkaca dari Pilpres kemarin yaitu banyaknya petugas KPPS yang tewas. Padahal kemarin tidak ada bencana dan lain sebagainya.
“Tapi kini kita bertarung di tengah pandemi. Bagaimana apakah harus dilanjutkan?,” kata Ahmad Latupono lagi.
Saran dari PB HMI MPO adalah penyelenggara memperketat protokol kesehatan dan benar-benar menjalankan. Karena apa? Euforia kampanye, siapa yang bisa memberikan sanksi pelanggaran protokol kesehatan? Hanya sanksi sosial.
“Klaster baru Covid-19 bisa muncul saat kampanye, apakah kampanye harus dihilangkan atau diganti metode lain? Ini yang menjadi masalah. Maka itu yang kami sarankan,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Politik Wempy Hadir menjelaskan Pilkada 2020 ini Pilkada yang bersejarah di Indonesia. Paling heroik, di tengah pandemi.
“Harusnya September menjadi Desember, dan bisa digeser lagi bila masih ada masalah,” kata Wempy Hadir.
Kata dia, wabah Covid-19 tidak bisa diprediksi. Di Inggris sekarang naik lagi kasus baru, mendekati 4 ribu. Jadi ada opsi lockdown nasional atau lokal. Di negara lain India dan Brasil juga lebih tinggi dari Indonesia. Catatannya adalah pemerintah tidak boleh panik, publik tidak boleh panik.
“Harus ada komunikasi dari pemerintah ke publik, tidak boleh panik. Karena panik hanya membuat berantakan, tidak nyaman, yakinkan publik bahwa pemerintah bekerja serius menangani penyebaran Covid-19. Jadi publik percaya kepada pemerintah,” jelasnya.
Berkaitan dengan Pilkada, lanjut atau tidak? Banyak negara yang akan pilkada tapi mereka menunggu hingga angka kejadian menurun, tapi ada di negara lain yang tetap menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi. Unsur yang perlu dicatat penyelenggara adalah ketaatan masyarakat dalam protokol kesehatan, bagaimana pemerintah melakukan aturan terutama kampanye. Seperti pendaftaran paslon, walau dibatasi 30 orang tapi ada pendukung konvoi saat pendaftaran.
“Perlunya kerjasama yang baik antara penyelenggara dengan petugas keamanan. Juga perlunya sanksi tegas pada kontestan yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Agar ada efek jera. Jika tidak ada sanksi tegas maka kontestan akan memanfaatkannya dengan mengumpulkan massa, ini yang memungkinkan menimbulkan klaster baru Covid-19,” paparnya.
Dia menambahkan bahwa suka tidak suka, mau tidak mau, Pilkada ini harus dijalankan. Jika dilaksanakan atau tidak, ini simalakama. Dilaksanakan akan menambah angka kejadian dan menurutnya KPU perlu mempertimbangkan soal tidak ada pengumpulan massa. Jadi kontestan bisa kampanye lewat mobil keliling, difasilitasi KPU, jadi warga bisa mendengarkan di depan rumah, dengan kontestan menyampaikan visi misi dengan keliling kampung, kota, dan sebagainya.
“Dengan mobil penerapan, bergiliran. Agar semua kampung bisa didatangi. Jadi semua tetap bisa kampanye , warga dapat mendengarkan semua visi misi calon. Masyarakat bisa stay di rumah, menjaga protokol kesehatan. Atau mungkin KPU ada solusi lain yang sudah disiapkan. Menurut saya ini belum terlambat, karena masa kampanye belum dimulai. Sekarang masih masa verifikasi,” pungkasnya.