Jakarta – Sidang lanjutan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Gugatan No 47/PUU-XIX/2021 yang berlangsung Senin, 28 Maret 2022 kembali digelar tepat pukul 11, baik secara onsite dan online mendengar keterangan ahli presiden. Sidang terbuka untuk umum dipimpin langsung Ketua MK Anwar Usman dengan agenda mendengar keterangan Prof. Dr Yusril Ihza Mahendra dan Dr. Ruliandi.
Dalam persidangan, Prof. Yusril menyatakan bahwa pemohon MRP terkait Sidang gugatan UU No. 2 Tahun 2021 tentang perubahan kedua Atas UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua), diuji secara materii di MK, tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk menguji ke MK seara materiil. Sebab keberadaan MRP tidak disebutkan secara langsung di UUD 1945. Sebaliknya MRP dibentuk oleh UU sehinggi tidak berwenang menguji UU. Selain itu MRP bukan perorangan, badan hukum privat atau majelis adat.
Ia mencontohkan MA disebutkan jelas dalam UUD 1945 memiliki kekuasaan menguji UU ke MK. Sekiranya, berkaitan dirinya langsung. Sedangkan ini yang diuji pasal dihapus, ini menjadi persoalan. Sebab MRP sama dengan Kejaksaan Agung yang tidak disebut dalam UUD 1945 sebagai lembaga negara.
“Bahwa MRP adalah representasi rakyat Papua ya, sama dengan DPRD juga representasi rakyat. Memang DPRD bisa menguji hak DPRD, bukan di luar kepentingannya. Demikian juga dengan MRP tidak bisa menguji pasal-pasal partai lokal, apalagi pasal itu sudah dihapus, harus diuji rakyat Papua langsung, bukan representasi. MRP boleh mengajukan asal harus ada merugikan konstitusionalnya bukan rakyat Papua. Selain itu MRP bukan dikategorikan perorangan, badan hukum privat dan majelis adat,” jelas Prof. Yusril Ihza Mahendra menjelaskan.
Sementara menjawab pertanyaan kuasa hukum presiden yang mempertanyakan gugatan hanya diajukan MRP Papua tidak ikut MRP Papua Barat? Prof Yusril berpendapat bahwa eksistensi MRP sebenarnya tidak hanya provinsi Papua tetapi Papua Barat. Menurutnya gugatan bisa diajukan terpisah.
“Saya berpendapat bahwa meski diajukan terpisah, jika dikabulkan maka berlaku juga untuk Papua dan Papua Barat, kecuali mengenai hal yang sepesifik. Siapa saja bisa menguji yang merasa dirugikan hak konsitusionalnya,” tandasnya.
Sementara keterangan ahli Presiden, Dr. Ruliandi menegaskan bahwa pemerintah pusat memberikan sebagian kekuasaan ke daerah untuk otonomi, tetapi pusat berhak penuh dalam mengambil keputusan. Sedikitnya ada tujuh poin yang dikemukakannya antara lain, terkait pengaturan Pasal 6 dan 6a UU No 21 Tahun 2021, yang intinya bahwa DPRP dan DPRK berasal dari unsur orang asli Papua. Tujuannya agar orang asli Papua berprestsi dalam politik sesuai dengan kearifan daerah Papua. Dengan demikian Sistem pemilihan Papua diatur dalam UU No.2 Tahun 2021.
Terkait Pasal 28 ayat 1 & 2, UU No.2 Tahun 2021 yang menghapus keberadaan Partai Politik tidak selalu identik dengan partai lokal di Aceh. Karena ini, sepenuhnya kewenangan pembuat UU. Sebab menurutnya sudah terwakili lewat sarana parpol Papua tapi aspirasi rakyat Papua dengan rekurutmen. Terkait dengan frasa membangun dengan pengusaha seperti Psl 38 ayat 2, tidak akan merugikan rakyat Papua atau orang asli Papua. Karena UU wajib memberikan untuk kesejahteraan rakyat Papua.
Selanjutnya frasa yang mengatakan bahwa penduduk Papua berhak mendapat kesehatan murah, Psl 59 ayt 3, menurut Ruliandi juga tidak bertentangan karena rakyat Papua berhak mendapat layanan kesehatan yang murah atau dibebankan sesuai kemampuan, ini sudah dibebankan ke otonomi khusus. Psl 54 mengakan bahwa Pemda Provinsi dan kabupaten Papua wajib dialokasikan dana ke orang Papua. Pemenuhan hak kesehatan orang papua sebagai pengghargaan HAM rakyat akan terwujud.
Kemudian, terkait tanggung jawab presiden Psl 68 ayat 1 dan 2, tujuan program pemerintah dan pemda dapat selaras dalam pembangunan nasional untuk seluruh rakyat Indonesia dan seluruh rakyat Papua sesuai dengan UUD 1945. Psl 1 dan 4 mengatakan bahwa seluruh administrasi pemerintahan menjadi kewajiban persiden.
Berikutnya, ketentuan Psl 7 ayat 2 dan 3, pemerintah tetap mengakomodasi keterlibatan MRP (botton up) bahwa setiap pemekaran daerah di Papua tetap mengakomodasi keterlibatan MRP. Bagi pemerintah pemekaran daerah Papua dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat Papua. Pembentukan derah berdasarkan kepentingan strategis nasional (top down).
Rulandi juga menyinggung berdasarkan RUU Otsus Papua pemerintah lewat Abdul Gani menyampaikan usulan itu diajukan ke MRP. Adalah hak presiden mengajungan rancangan UU. UU Otsus Papua berlaku 20 tahun dan berakhir tahun 2021, sehingga tidak ada landasan hukum. Maka dari itu, terkait dengan kelanjutan Otsus Papua, maka pemerintah membuat UU No. 21 Tahun 2021. Meski diakui bahwa terkait UU Otsus pembangunan di Papua masih terkendala dengan kondisi geografis Papua dan masalah keamanan.
“Tidak ada pertentangan hukum. Terkait dengan layanan kesehatan, pengusaha juga ada pembatasan pengusaha. Jadi Psl 38 ayat 2 dan 3 tidak ada kontradiktif. Demikian juga terkait Psl 77 ada dua alternatif jika rakyat Papua ingin perubahan maka jalurnya aspirasi lembaga kultural Papua melalui MRP. Hak presiden sesuai dengan konstitusi, pemerintah fungsi pengawasan, untuk melakukan Psl 34 sejalan dengan prinsip NKRI, tidak bisa dilakukan dengan tunggal (pemda),” urainya panjang lebar menjawab pertanyaan kuasa pemohon.
Lebih jauh, Ruliandi mengatakan bahwa MRP dalam konteks lembaga diturunkan lewat PP 54 tahun 2004, sebagai lembaga negara tentang MRP representasi adat Papua sebagai penunjang dan pertimbangan-pertimbangan. MRP lembaga representasi bukan sebenarnya defenisi umum. Sulit mengatakan kualifikasi atau parameter sama dengan lembaga negara umumnya secara nasional sebab MRP di daerah. “Saya kira sulit menempatkan legal standing sebagai pemohon,” tegasnya.
Sebelumnya, kuasa pemohon bertanya kepada Prof Yusril tentang pendapatnya terkait legal standing pasal-pasal yang dimohonkan tidak ada kerugian konstitusional. Sebab pemohon MRP secara konstitusional dimungkinkan Psl 18 ayat 1, Psl 18 ayat 1b terkait dengan rekomendasi Otsus Papua.
Sementara ke Ruliandi dipertanyakan frasa Psl 38 ayat 2 terkait dengan dua frasa, tetap menghormati hak-hak adat dan jaminan kepastian hukum hanya diberikan ke pengusaha. Ini kontradiktif dan melanggar Psl 27 dan Psl 28 UUD 1945. Juga mempertanyakan UU No. 2 Tahun 2021 berlaku Psl 59 ayat 3, yang tidak memberikan kepastian hukum dan pelayanan kesehatan bagi rakyat Papua. Karena ini jelas bertentangan dengan Psl 28 UUD 1945 yang menjamin setiap orang mendapt kesehatan.
Dalam sidang ini, Ketua Majelis memberitahkuan bahwa pemohon telah menyerahkan bukti P46. Sementara kuasa pemohon juga memberitahukan surat tambahan dari Komnas HAM yang akan diserahkan ke MK. Sebelum menutup sidang, Anwar Usman menyampaikan bahwa sidang dilanjutkan pada 10 Mei 2022 jam 11, dengan Agenda mendengar keterangan dua ahli Presiden lainnya.