Jakarta – Guna mengantisipasi perubahan iklim yang ekstrem, Greenpeace Indonesia melakukan kegiatan FGD dengan pemerhati lingkungan guna mencari solusi dengan pemerintah dan masyarakat agar perubahan iklim dapat diatasi dengan baik di indonesia.
Termasuk membahas faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan akibat-akibatnya, terutama bagi keselamatan manusia dan keberlanjutan muka bumi. Pemahaman atas topik ini merupakan dasar menuju topik yang lebih spesifik terkait perubahan iklim seperti halnya REDD.
Sebagai pengantar diskusi, topik ini juga akan menjelaskan mengenai urgensi membahas isu hutan dalam perbincangan mengenai perubahan iklim. Apa saja faktor dari dan yang berkenaan dengan kawasan hutan yang mengakibatkan perubahan iklim dan dampaknya bagi manusia.
Narasumber untuk sesi ini adalah Nur Hidayati. Ia bekerja di Greenpeace dan aktif mengawal proses-proses politik maupun kebijakan yang berhubungan dengan perubahan iklim.
“Pemanasan global akan membuat sistem bumi kita ini akan berhenti berjalan seperti semula. Sering terjadi kesalahpahaman bahwa gedung-gedung bertingkat, yang terbuat dari kaca menyebabkan terjadinya efek rumah kaca, padahal maksudnya bukan demikian.” ujar dia.
Di Indonesia, kata dia, efek rumah kaca mungkin tidak terlalu umum. Rumah kaca ini biasanya dipakai di negara-negara empat musim. Negaranegara tersebut tidak sepanjang tahun memiliki matahari dan tidak 6 sepanjang tahun itu cuacanya cocok dengan pertanian. Karena itulah para penduduknya membuat rumah-rumah kaca untuk menangkap panas matahari.
“Rumah itu menyimpan panas sehingga penduduk dapat melakukan penanaman di dalamnya. Ibaratnya sebuah mobil yang kita parkir di lapangan di bawah panas terik matahari dengan kaca tertutup. Cepat atau lambat bagian dalam mobil tersebut akan panas. Efek memerangkap panas inilah yang kemudian disebut dengan efek rumah kaca. Dengan efek tersebut, negara-negara empat musim masih dapat melakukan pertanian karena ruangan masih tetap hangat.” ungkapnya.
Dalam konteks itu, ia menjelaskan bahwa sebenarnya gas-gas itu (CO2, metana, dan sebagainya) berfungsi menolong makhluk hidup di bumi. Akan tetapi, yang terjadi kemudian adalah sebaliknya. Ketika terjadi revolusi industri pemakaian bahan bakar fosil yang diobral secara besar-besaran menghasilkan GRK yang terus meningkat di atmosfer bumi.
Konsentrasi GRK yang tadinya tidak terlalu besar sekarang menjadi sangat besar. Akibatnya, panas yang terperangkap di bumi semakin banyak. Bahan bakar fosil penyebab pemanasan global itu asalnya ada dua sumber. Pertama, sumber alamiah yang antara lain berasal dari letusan gunung berapi dan proses biologis. Proses biologis berasal dari semua mahluk hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan yang telah mati. Semua mahluk hidup berasal dari satu senyawa yaitu karbon.
“Jadi, semua mahluk hidup memiliki karbon. Ketika hewan, manusia, dan tumbuhan mati maka akan terjadi proses pembusukan. Dari proses pembusukan itu akan dikeluarkan juga GRK. Sumber alamiah ini tidak menyebabkan perubahan yang penting. Misalnya, letusan gunung berapi hanya terjadi beberapa saat saja, tidak setiap saat. Letusan itu menimbulkan konsentrasi yang besar.” tutur Rio Rompas.
Dampak perubahan iklim sudah bisa kita rasakan. Beberapa pola iklim dan cuaca saat ini tidak bisa kita prediksikan lagi sehingga pergantian musim sulit diramal. Di Ekuador misalnya, curah hujan terus berkurang. Dalam satu tahun biasanya ada empat bulan musim hujan. Sekarang jumlah tersebut terus menyusut hanya sekitar dua hingga tiga bulan. Namun, volume air yang dibutuhkan akibat pemanasan global semakin banyak.
“Misalnya, satu bak penampungan air seharusnya dihabiskan empat bulan. Sekarang bisa habis hanya dalam dua bulan. Penyerapan air yang luar biasa cepatnya kemudian mengganggu proses-proses lainnya, misalnya hujan jarang datang. Ketika hujan datang, itupun disertai dengan badai dan curahan yang sangat lebat. Hari datangnya hujan semakin sedikit, tetapi intensitasnya semakin deras. Hal inilah yang menyebabkan bencana.” tandasnya.