Malang, 30 September 2025 – Tepat tiga tahun tragedi kelam Kanjuruhan, ratusan jamaah Maiyah, keluarga korban, serta LBH Gusdurian kembali menyatukan hati dalam Munajat Akbar Tahlil dan Doa Bersama yang digelar di Rumah Maiyah Al-Manhal, Landungsari, Malang.
Acara yang berlangsung penuh khidmat sejak pukul 19.50 hingga 22.30 WIB itu dipimpin oleh tokoh-tokoh spiritual dan sosial, menghadirkan suasana haru sekaligus menjadi ruang refleksi bagi semua pihak yang hadir.
Hadir dalam kesempatan tersebut antara lain H. Haris (Sesepuh Maiyah Al-Manhal Malang), Rizky (Ketua PCNU Tulungagung), Abdul Adif (Pendamping Korban JSKK), Asrofi (Pengamat Tragedi Kanjuruhan), Kartini (perwakilan keluarga korban Kanjuruhan Gedangan), serta sekitar 75 jamaah undangan Maiyah dan Gusdurian.
Acara dimulai dengan pembacaan Yasin dan Tahlil untuk 135 korban tragedi Kanjuruhan. Suasana hening menyelimuti ruangan, banyak mata yang berkaca-kaca ketika doa dipanjatkan agar para korban mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT.
Dalam sesi refleksi, H. Haris menekankan pentingnya dokumentasi setiap kegiatan Aremania sebagai bentuk arsip sejarah perjuangan. “Kami atas nama Bah Nun menyampaikan rasa duka yang mendalam. Jangan biarkan tragedi ini terlupakan, dokumentasikan semua agar generasi nanti tahu kebenarannya,” ujarnya.
Sementara itu, Abdul Adif dari JSKK menyoroti proses hukum tragedi Kanjuruhan yang dianggap penuh kejanggalan. Ia menilai ada indikasi intimidasi saat persidangan serta keputusan restitusi yang tidak adil bagi keluarga korban.
“Bagaimana mungkin nyawa manusia dihargai hanya Rp 10 juta, sementara luka ringan Rp 5 juta? Ini jelas melukai rasa keadilan,” tegasnya.
Perwakilan keluarga korban, Kartini, menyampaikan rasa terima kasih atas doa dan solidaritas dari Jannatul Maiyah dan LBH Gusdurian. Ia menegaskan bahwa perjuangan menuntut keadilan masih terus berjalan. “Kami ingin tragedi ini ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat. Semoga doa malam ini memperkuat langkah kami,” katanya dengan suara bergetar.
Meski penuh kritik terhadap proses hukum, acara berlangsung dengan damai, tertib, dan penuh kekeluargaan. Di akhir acara, jamaah saling berpelukan dan berfoto bersama, menandakan bahwa solidaritas dan doa adalah energi yang menjaga perjuangan tetap hidup.
Rumah Maiyah Al-Manhal kembali membuktikan dirinya sebagai ruang terbuka untuk silaturahmi, doa, dan diskusi keumatan. Bagi komunitas Maiyah, doa bukan sekadar ritual, melainkan bentuk nyata solidaritas spiritual dan sosial.
Tiga tahun tragedi Kanjuruhan memang belum tuntas secara hukum, namun malam itu, di Landungsari, semangat untuk terus memperjuangkan “Justice for The 135” kembali menyala.