HAI Minta Publik Waspada: Militerisasi TNI Lebih Kritis dari Polemik Polri

Jakarta – Direktur Haidar Alwi Institute, Sandri Rumanama, memberikan respons keras terhadap kritik yang disampaikan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Laksda (Purn) Soleman B. Ponto terkait 4.351 anggota Polri yang merangkap jabatan sipil. Menurutnya, kritik tersebut terkesan tidak proporsional dan hanya diarahkan kepada Polri, sementara isu yang lebih serius yakni perluasan ranah TNI ke sektor-sektor sipil justru tidak mendapat tekanan yang sama.

Sandri mempertanyakan mengapa kritik Soleman begitu tajam kepada Polri, namun tidak dengan intensitas serupa terhadap TNI yang saat ini juga sedang dipersoalkan melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Bacaan Lainnya

“Polri itu sendiri adalah masyarakat sipil yang dipersenjatai. Mereka tidak mengganggu ranah sipil, justru memiliki keahlian kedisiplinan, administrasi, dan birokrasi. Jadi tidak ada yang bertentangan dengan supremasi sipil,” ujar Sandri.

Ia menegaskan, penempatan anggota Polri pada jabatan sipil tidak merusak tatanan demokrasi. Sebaliknya, yang berbahaya justru tren militerisasi ranah sipil yang dilakukan TNI di berbagai sektor yang bukan menjadi tupoksinya.

Sandri mencontohkan soal keterlibatan TNI dalam pengamanan objek vital, yang menurutnya sangat jelas bertentangan dengan aturan.

“TNI menjaga objek vital itu tidak boleh. Itu merebut ranah sipil. Ada pembagian peran yang sangat jelas berdasarkan regulasi. Bila dibiarkan, ini akan membawa Indonesia pada kemunduran demokrasi,” tegasnya.

Sandri juga menyerukan agar TNI dikembalikan pada mandat sesungguhnya sebagai penjaga teritorial negara, bukan masuk dalam birokrasi, pemerintahan, atau sektor-sektor yang sudah diatur sebagai ranah sipil.

Soroti Putusan MK Soal Pasal 47 UU TNI

Selain menyoal kritik Soleman, Sandri turut menyinggung seriusnya problem putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak uji materi Pasal 47 UU TNI terkait jabatan sipil perwira aktif. Ia menyebut putusan tersebut mengundang tanda tanya besar.

“MK adalah penjaga marwah reformasi dan konstitusi. Harusnya bergerak bersama masyarakat sipil memperkuat supremasi sipil. Jangan sampai MK terseret pada ranah praktis dan bertindak layaknya ‘mahkamah kombatan’,” kata Sandri.

Ia juga menyoroti lemahnya kualitas permohonan uji materi yang diajukan kelompok pemohon.

“Para penggugat tidak serius. Banyak persoalan administratif seperti tanda tangan dan pemberian kuasa saja bermasalah. Ini menjadi catatan serius: bagaimana mungkin isu besar seperti ini dibawa ke MK dengan persiapan lemah?” ujarnya.

Sandri menegaskan, baik MK maupun para pemohon harus menunjukkan keseriusan penuh karena isu supremasi sipil adalah fondasi utama demokrasi Indonesia.

Pos terkait