Jakarta – Mantan Kabais, Soleman Ponto, kembali memantik perdebatan publik setelah mengkritik banyaknya personel Polri yang masih menduduki jabatan sipil. Namun menurut Peneliti Imparsial, Riyadh Putuhena, kritik tersebut justru membuka diskusi yang lebih besar: perlunya reformasi bukan hanya di tubuh Polri, tetapi juga di TNI.
Riyadh menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatasan jabatan sipil bagi anggota Polri adalah momentum penting. Putusan itu menjadi tanda pembatasan tugas kepolisian agar tetap berada dalam domainnya sebagai penegak hukum, bukan menjalankan fungsi-fungsi di luar tugas pokok dan kewenangan.
Ia menegaskan, reformasi serupa juga wajib dilakukan TNI. Imparsial bahkan telah mengajukan gugatan terkait aturan jabatan sipil bagi militer karena praktik yang terjadi di lapangan menunjukkan adanya gejala rivalitas dua institusi besar negara itu.
Menurut Riyadh, ketegangan halus antara Polri dan TNI tidak boleh sampai mengorbankan masyarakat. Ia mengingatkan bahwa warga negara setiap hari berhadapan dengan polisi dalam urusan pelayanan publik maupun penegakan hukum, sementara negara tetap membutuhkan TNI yang fokus menjaga pertahanan, bukan ikut dalam politik penegakan hukum.
Riyadh juga menyoroti temuan Imparsial terkait keterlibatan TNI dalam penindakan narkotika. Dari kasus penggerebekan hingga penangkapan, tentara dinilai masuk ke ranah yang sepenuhnya merupakan kewenangan kepolisian. Ia menegaskan bahwa tindakan tersebut berpotensi cacat hukum dan bisa membuat penangkapan batal demi hukum.
Riyadh mempertanyakan dasar intelijen militer yang digunakan untuk memata-matai warga sipil dalam kasus narkotika. Ia menekankan bahwa intelijen TNI bersifat tempur, bukan untuk penegakan hukum pidana.
Dalam kasus tambang ilegal, Imparsial bahkan menemukan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat TNI. Riyadh menyoroti operasi lengkap dengan smoke bomb, drone, dan pasukan bersenjata untuk menangkap operator ekskavator yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia menyebut tindakan itu sebagai penggunaan kekuatan yang tidak proporsional dan berpotensi menjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Riyadh menutup dengan mengingatkan bahwa penggunaan kekuatan negara harus efisien dan sesuai prosedur. Keterlibatan TNI dalam urusan yang bukan domainnya berpotensi menghamburkan anggaran dan mengaburkan tanggung jawab institusi.
“Jangan sampai pertarungan elit antar-institusi justru mengorbankan masyarakat. Dan jangan sampai penegakan hukum dilakukan dengan cara yang justru melanggar hukum itu sendiri,” tegasnya.
