Jakarta – Polemik terkait beberapa kasus yang melibatkan oknum anggota TNI dan vonisnya yang dinilai melukai rasa keadilan terus berkangsung mulai dari kasus penganiayaan menewaskan pelajar di Medan yang kemudian hanya divonis 10 bulan penjara, sampai dengan kasus Prada Lucky yang sampai saat ini menunjukkan adanya indikasi terjadi manipulasi dan upaya menutupi fakta persidangan. Hal tersebut kemudian memicu reaksi dari elemen Koalisi Masyarakat Sipil yang menganggap bahwa reformasi peradilan militer adalah suatu keharusan sebagai bagian dari upaya menegakkan hukum secara utuh di Indonesia.
Salah satu elemen yang paling keras menyuarakan hal tersebut yakni Imparsial melalui salah satu peneliti seniornya Al Araf yang menyatakan bahwa Peradilan Militer hari ini adalah mekanisme impunitas yang digunakan untuk menutup ruang kejahatan yang dilakukan anggota TNI ketika terlibat dalam tindakan pidana.
“Peradilan Militer seperti tameng yang melindungi anggota TNI yang terlibat pidana agar bebas dari jeratan hukum,” terang Al Araf dalam forum diskusi berjudul “Quo Vadis Peradilan Militer dan Urgensi Reformasi Peradilan Militer : Kasus Prada Lucky, hingga vonis ringan di Medan”.
Al Araf juga menyatakan bahwa sepanjang Peradilan Militer tidak direformasi maka Indonesia belum bisa dikatakan sebagai negara hukum, karena prinsip persamaan dihadapan hukum tidak benar-benar dilaksanakan dengan baik dengan keistimewaan yang dihadirkan oleh forum Peradilan Militer.
Disisi lain peneliti Imparsial lainnya Riyadh Putuhena juga menyatakan bahwa kasus Prada Lucky bukan yang pertama kali, dalam satu tahun ke belakang setidaknya ada 4 peristiwa pembunuhan dan pelecehan yang dilakukan oknum anggota TNI dan kemudian diadili di forum Pengadilan Militer, beberapa diantaranya divonis ringan melalui proses yang tertutup dan tidak jelas. Kondisi tersebut jelas menjadi tanda bahwa Reformasi Peradilan Militer adalah sesuatu yang harus segera dilakukan.
