Dokter yang Bekerja di Pedalaman Papua Sentil Aksi Zaadit Taqwa

Jakarta – Aksi Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa, yang mengacungkan ‘kartu kuning’ di hadapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (2/2) lalu masih menjadi bahan perbincangan hingga kini.

Usai Zaadit melakukan aksinya tersebut, sejumlah politikus seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon ikut melakukan hal serupa di acara Musyawarah Kerja Nasional 1 KAMMI.

Sedangkan Jokowi sendiri menanggapi hal itu dengan mengatakan akan mengirim anggota dan ketua BEM UI ke Kabupaten Asmat, Papua.

Soal gizi buruk di Asmat, Papua, adalah salah satu isu yang disuarakan Zaadit dalam aksi ‘kartu kuning’-nya tersebut. Ketua BEM UI itu menilai pemerintah belum mampu menuntaskan masalah tersebut.

Dan kini, di tengah kontroversi ‘kartu kuning’ yang masih menghangat, seorang dokter yang bekerja di pedalaman Papua ikut angkat suara terkait isu gizi buruk di Asmat. Dokter tersebut bernama Yafet Yanri Sirupang.

Yafet yang mengaku sudah lima tahun praktek di Papua itu, menulis sebuah surat terbuka kepada Zaadit melalui akun Facebooknya pada Minggu (4/2).

Kepada kumparan.com, Senin (5/2), Yafet mengaku masih bekerja di Kabupaten Mappi yang berbatasan langsung dengan Asmat.

Mappi, kata Yafet, memiliki kondisi geografis yang hampir sama dengan Asmat.

Menurut Yafet, aksi yang dilakukan Zaadit terhadap Jokowi membuat banyak orang geram dan terusik, termasuk dirinya.

“Namun secara pribadi saya bersyukur. Hal ini membuat saya ingin memberikan gambaran kepada Anda (Zaadit) mengenai kondisi sesungguhnya pengalaman di Papua itu seperti apa. Hal yang sebenarnya malas untuk saya lakukan, tapi demi lo dit,” tulis Yafet di surat terbukanya.

Yafet juga mengungkapkan apa yang ia sampaikan tidak terkait unsur politik melainkan berdasar pengalaman yang ia rasakan selama menjalankan tugas di Papua. Dia juga menilai sebagian besar masyarakat di Papua merasa puas atas kinerja Jokowi selaku Presiden.

“Karena terus terang Dit, Saya bahkan tidak mencoblos beliau (Jokowi) saat pilpres 2014 kemarin,” tutur pria asal Sulawesi Selatan ini.

Yafet pun kemudian mempertanyakan kepada Zaadit apakah ia sudah memahami latar belakang terjadinya kasus gizi buruk di Asmat.

Yafet lalu menggunakan data dari UNICEF, lembaga PBB yang betugas untuk mengatasi permasalahan anak-anak di dunia. Dari data tersebut, menurut Yafet, gizi buruk dipengaruhi oleh tidak cukupnya asupan makanan dan penyakit infeksi.

“Sedangkan penyebab tidak langsung karena kurangnya ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga, pola asuh yang tidak memadai, serta masih rendahnya akses kesehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat,” jelas Yafet.

Lebih lanjut, Yafet mengatakan, masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan rendah, dan minimnya kesempatan kerja. Ia juga menyesalkan permasalahan gizi buruk selalu mengkambinghitamkan sektor kesehatan dengan mengabaikan peran-peran di sektor lainnya.

“Memang benar bahwa tenaga kesehatan di Papua sangatlah kurang, namun bukan hanya itu. Tenaga-tenaga ahli lainnya seperti insinyur, guru, dan lain-lain juga masih sangat kurang. Itu kendala pertama,” kata dokter lulusan UKI Jakarta ini.

Kendala lainnya yang juga berpengaruh menurut Yafet, adalah kondisi medan dan geografis Papua. Seperti sulitnya menjangkau lokasi masyarakat di kampung-kampung dan dusun-dusun yang harus melewati gunung dan lembah, melintasi laut, sungai, dan rawa-rawa.

“Makanya kasus gizi buruk sendiri di Papua sebenarnya sudah dari dulu terjadi, bukan hanya pada saat era Pak Jokowi,” katanya.

Yafet mengatakan, upaya-upaya untuk menanggulangi permasalahan tersebut sudah mulai diatasi dengan pembangunan infrakstruktur untuk membuka akses ke daerah yang sulit dijangkau. Salah satunya adalah wilayah tempatnya bekerja yang kini sudah dialiri oleh listrik.

“Tempat tugas saya puskesmas Kota I Kabupaten Mappi tahun 2017 akhirnya dialiri listrik setelah 72 tahun Indonesia merdeka. Akses internet di Merauke sekarang enggak kalah kencang sama Depok, Dit,” paparnya.

Yafet juga meminta Zaadit sebagai mahasiswa untuk tidak berkoar-koar tanpa mengetahui realita di lapangan. Ia mengatakan gizi buruk tidak hanya terjadi di Papua, namun juga tempat-tempat di sekitar Zaadit berada.

“Sementara faktanya, bahkan di Depok dan Jakarta saat ini juga masih ditemukan kasus gizi buruk, apalagi Papua? Lantas salah siapa? Mungkin lebih elok kalau Mas Zaadit kuliah dulu yang benar, jadilah orang yang ahli dan berkompeten di bidangnya. Nanti kalau sudah lulus ajak teman-teman yang lain ramai-ramai datang ke Papua dan tunjukkan secara nyata kontribusi kalian sesuai kompetensi yang dimiliki,” ujar pria berusia 31 tahun ini.

Yafet mengaku, bekerja di pedalaman Papua sangatlah sulit dijalani apabila hanya menilainya dari uang. Ia mengungkapkan banyak dari rekan-rekannya yang tidak betah dan memilih untuk secepatnya pulang dari Papua.

“Namun tidak sedikit juga yang bertahan dan akhirnya mencintai Papua,” imbuhnya.

“Bekerja di pedalaman Papua itu risikonya berat, bahkan bisa nyawa taruhannya. Pelayanan kesehatan dari kampung ke kampung yang jauh jaraknya menggunakan speed boatlong boat, atau perahu sampan di tengah teriknya matahari, derasnya hujan, apalagi ombak. Bahkan kadang berjalan kaki berjam-jam sambil memikul obat dan perlengkapan medis lainnya,” jelas pria yang sejak tahun 2012 telah bertugas di Papua ini.

Masalah lainnya yang pernah dirasakan oleh Yafet adalah kesulitan air bersih, ketiadaan akses sinyal hingga listrik. Yafet merasa bahwa pengalamannya selama lima tahun bertugas di Papua cukup beralasan untuk diceritakan.

Di penghujung suratnya, tak lupa Yafet meminta doa dari Zaadit agar dirinya bisa melanjutkan pendidikan dokter spesialis di UI. Menurutnya hal itu agar dirinya bisa bertemu dan saling bertukar pikiran.

“Kita bisa sharing pengalaman gua di Papua, sambil lihat-lihat foto-foto di laptop. Pengalaman lima tahun jadi dokter di pedalaman Papua cukuplah untuk diceritain. Tapi doain dulu gua bisa keterima, biar nanti kalau sudah selesai sekolah gua bisa balik lagi ke Papua, siapa tahu lo mau ikut,” pungkas Yafet.

Namun pada Senin (5/2) siang, surat terbuka yang diunggah Yafet tersebut sudah tidak ditemukan. Yafet mengatakan, dirinya sama sekali tidak menghapus unggahanya soal surat terbuka tersebut.

“Soal tulisan belum saya hapus. Tapi sempat keblok sama FB tadi pagi sepertinya,” kata Yafet.

Tulisan Yafet kini banyak diunggah dan dibagikan ulang oleh pengguna Facebook lainnya.

Berikut isi selengkapnya surat terbuka yang ditulis Yafet yang sudah diunggah ulang di akun Darul Mahendra

(BUKAN) SURAT CINTA UNTUK ZAADIT TAQWA

By: dr. Yafet Yanri Sirupang.

Yang saya kasihi Ketua BEM UI Zaadit Taqwa, gimana kabarnya Dit, sehat?

Cieee Katanya mau dikirim ke Asmat sama Pak Jokowi, makin sehat lah ya..

Gini Dit…

Melihat aksi dan tingkah anda meng ’kartu kuning’ orang nomor satu di Republik ini selama beberapa hari di berbagai media sosial dan elektronik membuat banyak orang geram dan terusik, saya salah satunya (yang tertawa). Namun secara pribadi saya bersyukur. Hal ini membuat saya ingin memberikan gambaran kepada anda mengenai kondisi sesungguhnya di pedalaman papua itu seperti apa. Hal yang sebenarnya malas untuk saya lakukan, tapi demi lo dit…

Pertama-tama saya ingin menyampaikan bahwa hal ini bukan karena unsur politik dan lain sebagainya, tetapi atas dasar apa yang saya rasakan (dan saya yakin sebagian besar masyarakat di papua rasakan) atas kinerja yang telah dan yang sementara dikerjakan pak presiden di bumi cendrawasih (walapun sebagai manusia tentu masih ada kekurangan). Karena terus terang dit, saya bahkan tidak mencoblos beliau saat pilpres 2014 kemarin, hal yang kemudian saya sesali dan menjadi aib seumur hidup hehe.

Ngomong-ngomong salah satu poin aksi yang disampaikan saat dies natalis ui adalah menuntut persoalan gizi buruk di asmat. Namun tahu gak dit, secara umum bagaimana bisa kasus gizi buruk bisa terjadi?

Menurut unicef Secara langsung keadaan gizi dipengaruhi oleh ketidak cukupan asupan makanan dan penyakit infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsung karena kurangnya ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga, pola asuh yang tidak memadai serta masih rendahnya akses pada kesehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat. Lebih lanjut masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan rendah dan minimnya kesempatan kerja.

Disini bisa dilihat bahwa munculnya kasus gizi buruk ini merupakan tanggung jawab dari multi/lintas sektor. Namun sialnya yang selalu menjadi kambing hitam adalah sektor kesehatan dengan mengabaikan peran sektor lain. Memang benar bahwa tenaga kesehatan di papua sangatlah kurang, namun bukan hanya itu, tenaga-tenaga ahli lainnya seperti insinyur, guru, dll juga masih sangat kurang. Itu kendala yang pertama.

Kendala terbesar lain yang ditemui di papua adalah kondisi medan dan geografisnya. Lokasi untuk menjangkau masyarakat di kampung-kampung dan dusun sangat sulit sekali, dimana harus melewati gunung-lembah, melintasi laut, sungai bahkan rawa-rawa. Makanya kasus gizi buruk sendiri dipapua sebenarnya sudah dari dulu terjadi, bukan hanya pada saat era Pak Jokowi. Hal yang tentunya secara tidak langsung coba diatasi saat ini dengan pembangunan infrastruktur guna membuka akses daerah sulit, bandara-bandara dan pelabuhan yang terus dibangun dan diperbesar, harga bbm satu harga (asal mafia diberantas), tol laut, proyek indonesia terang (tempat tugas saya puskesmas Kota 1 Kabupaten Mappi tahun 2017 akhirnya dialiri listrik setelah 72 tahun Republik ini merdeka), 10% saham Freeport ke pemerintah propinsi dll. Fyi, akses internet di Merauke sekarang ga kalah kenceng sama Depok Dit…

Sebagai mahasiswa sebaiknya jangan berkoar-koar yang berlebihan apalagi tanpa mengetahui realita dilapangan. Sementara faktanya bahkan di Depok dan Jakarta saat ini juga masih ditemukan kasus gizi buruk, apalagi papua?

Lantas salah siapa? Mungkin lebih elok klo mas kuliah dulu yang benar jadilah orang yang ahli dan berkompeten dibidangnya, nanti klo sudah lulus ajak teman2 yang lain ramai2 datang ke papua dan tunjukkan secara nyata kontribusi kalian sesuai kompetensi yang dimiliki. Bukan hanya Raja Ampat doang taunya..

Melayani di papua itu klo gak pake hati sulit dit, apalagi klo sekedar money oriented. Pasti bakalan dongkol dan menggerutu dalam bekerja sehari-hari. Terutama bagi tenaga medis yang melayani dipedalaman-pedalaman terpencil Papua, makanya tidak jarang ditemui banyak teman-teman yang tidak betah untuk bekerja dan memilih untuk secepatnya pulang, namun tidak sedikit juga yg bertahan dan akhirnya mencintai Papua..

Bukan menakut-nakuti dit, tp bekerja di pedalaman papua itu resikonya berat bahkan bisa nyawa taruhannya. Apalagi buat lo yang kulitnya putih dan sedikit berlebih gizinya kalau dilihat di TV. Pelayanan kesehatan dari kampung ke kampung yang jauh jaraknya menggunakan speed boat, long boat, atau perahu sampan di tengah teriknya matahari, derasnya hujan, apalagi ombak. Bahkan kadang berjalan kaki berjam-jam sambil memikul obat dan perlengkapan medis lainnya. Hidup dengan ketiadaan akses sinyal, tanpa listrik PLN, transportasi ke kota yang sulit, BBM seharga kopi setarbak.. Bah lengkap sudah penderitaan, tapi entah kenapa nikmat dit (untuk diikenang)..

Dan satu lagi, akses air bersih yang sulit terutama Papua Selatan (Asmat, Mappi, Merauke). Makanya biaya yang digelontorkan baik dari pusat maupun daerah bisa saja kebanyakan habis hanya untuk transportasi. Jangan kaget klo di beberapa pedalaman papua, mata uang paling kecil itu goceng…..

Pernah kebayang ga Dit ga mandi air bersih selama berhari-hari? Atau pernah dengar gak sebagian masyarakat di Asmat pada saat kemarau mandinya air aqua?? Hanya di Asmat dit mineral water yang biasa lo minum itu dipake buat ngebilas daki….

Oya biar gak stres sekali-kali dengarin lagu karya anak Merauke “Turun Naik” (searching di youtube gih) sekalian belajar cara goyangnya, asik lho.

Doain gw dit maret ini bisa lanjut spesialis di UI, supaya nanti kita bisa santai ngobrol2 di kantin sambil minum ale-ale atau jas-jus. Kita bisa sharing pengalaman gw di papua, sambil liat2 foto di laptop, banyak tuh di hardisk.

Pengalaman 5 tahun jadi dokter di pedalaman papua cukuplah gw rasa buat diceritain. Tapi doain dulu gw bisa ketrima, biar nt klo dah selesai sekolah gw bisa balik lagi ke papua. Sapa tau lo mau ngikut. Kan dah gak pusing lagi mau tinggal di mana, mau makan apa, mau jalan2 kemana secara udah punya temen.

Mau ga dit gw ajarin istilah-istilah bahasa di papua? Satu aja dulu ya dit nanti lo pakai klo seandainya udah sadar dan berubah pikiran, trus mau ketemu pak dhe buat sungkeman. Nanti lo bilang aja ke beliau…. “Pak dhe Jokowi, ko tra kosong….”

Udahan dulu ya dit….

“SEKARANG KO TIDUR SUDAH. JANGAN TAHAN-TAHAN MATA EE… DAN JANG KO KE PAPUA….

KENAPA?? ZAADIT DE TANYA.

BERAT…. KO TRA AKAN KUAT. BIAR SA SAJA……….”

Tetap semangat buat rekan yang bertugas di Asmat (dr. Fey febriyani, dr. Desi irene, dr. Ziona, dkk) semoga klb campak dan gizi buruk dapat segera teratasi.

Salam hangat dari Papua. Gbu

Pos terkait