JAKARTA – Direktur eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai, bahwa seharusnya masyarakat Papua bisa sejahtera ketika dana otonomi khusus yang digelontorkan pemerintah selama ini disalurkan dengan baik sesuai keperuntukannya.
“Selama ini dana otsus terus meningkat signifikan, setiap tahun naik, tapi tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya, ini kan ada something, artinya kue ini hanya dinikmati oleh mereka yang berkuasa,” kata Karyono dalam diskusi publik yang diinisiasi Ruang Bicara di Hotel Bintang Baru Jakarta Pusat, Senin (23/5).
Menurut Karyono, pemekaran wilayah Papua menjadi solusi konkret bagaimana negara bisa menghadirkan kesejahteraan kepada masyarakat di Indonesia Timur itu. Namun ia tak memungkiri, banyak kalangan yang menolak pemekaran wilayah itu.
Untuk memastikan bahwa seberapa persen masyarakat Papua pro terhadap pemekaran wilayah yang menjadi usulan banyak kalangan adalah dengan melakukan kajian yang lebih komprehensif.
“Kalau disurvei opini dan persepsi publik, bisa dilakukan, diriset mana yang setuju dan mana yang menolak. Hipotesa saya mayoritas setuju pemekaran, (mereka menolak) karena mereka banyak yang belum mendapatkan kesejahteraan dan berada di wilayah terisolir,” ujarnya.
Ada pihak yang terganggu
Kemudian, pengamat politik senior ini menduga kuat ada pihak-pihak tertentu yang terganggu dengan wacana pemekaran wilayah oleh pemerintah pusat. Salah satu yang paling terganggu menurut Karyono adalah kelompok separatis dan teroris OPM.
“Saya curiga, di balik penolakan pemekaran, ada organisasi Papua Merdeka yang ikut menumpang isu pemekaran,” tandasnya.
Ia membantah bahwa pihak-pihak yang menolak pemekaran wilayah Papua terafiliasi dengan OPM, akan tetapi OPM adalah pihak yang paling terganggu.
“Saya tidak mengatakan yang menolak ini bagian dari OPM, tapi saya menduga penolakan pemekaran ada kepentingan OPM di sana. Karena dari segi operasi militer atau OPM untuk ciptakan instabilitas keamanan di sana lebih leluasa. Faktanya terkonfirmasi, bahwa masih muncul gelagat instabilitas yang dilakukan OPM yang mengarah pada separatisme,” paparnya.
Selain itu, pihak-pihak yang terganggu adalah mereka para elite yang merasa menjadi raja-raja kecil di Papua. Karena selama ini mereka sangat menikmati semua fasilitas dan sumber daya yang tersalurkan dari pemerintah pusat.
Salah satu indikatornya, adalah kenaikan dana otsus setiap tahun namun tidak kunjung dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sana.
“Kalau sudah pemekaran, ada anggaran pembangunan, yang awalnya tadi tersentral, lalu ada penyumbatan, maka yang terjadi maka pembangunan di sana lambat, hanya netes (anggarannya). Maka ketika ada pemekaran, maka yang hambat saluran anggaran bisa tersalurkan dengan baik,” tandasnya.
Dialog interaktif, konstruktif dan solutif
Lebih lanjut, Karyono Wibowo menyarankan agar upaya pemekaran wilayah tersebut tidak dilakukan secara otoriter. Akan tetap didahulukan proses dialog untuk menangkap apa sebenarnya kebutuhan masyarakat papua, sehingga pendekatan kesejahteraan yang diambil benar dan tepat sasaran.
“Sebelum ada pemekaran, harus ada proses dialog, harus ada mapping di sana. Selain dengan cara intelijen dan dialog, harus ada riset yang holistik untuk mendeteksi apa sih kemauan masyarakat sebenarnya di sana, sehingga bisa kita breakdown kemauan mereka dan respon masyarakat Papua tentang wacana pro kontra pemekaran bagaimana,” ucapnya.
Ia yakin tidak semua pihak yang menolak pemekaran benar-benar menolak, bisa jadi karena mereka belum memahami apa itu pemekaran wilayah dan manfaatnya. Informasi dan dialog yang belum tuntas bisa memicu penolakan masyarakat.
“Karena belum tentu yang sekarang ini menolak pemekaran, ketika mereka tahu lalu tetap menolak, begitu ada dialog dan mereka diajak diskusi untuk tentukan nasib mereka dan dilibatkan, mereka bisa beranggapan bagus soal pemekaran, maka ketika dilakukan survei bisa diketahui data yang presisi, maka perlu ada kajian holistik,” pungkasnya.