JAKARTA – Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPN Permahi) menggelar webinar hukum virtual berjudul “Perang Ukraina vs Rusia: Indonesia Bisa Apa?. Kegiatan tersebut dihadiri lebih dari 140 perserta dari berbagai macam kalangan.
“Saya berharap acara ini bisa menjadi momentum penting bagi kaum muda untuk melek pada issu-issu politik hukum dan keamanan internasional,” ujar Ketua umum DPN Permahi, Saiful Salim dalam kata pengantarnya, Sabtu siang.
Dosen Hukum Internasional Universitas Bung Karno, Ruman Sudradjat mengatakan bahwa perang kedua negara eropa itu perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah Indonesia yang akan menggelar hajatan besar G20.
“Menurut saya perlu kiranya kita semua bekerjasama dengan pihak manapun, termasuk dengan Amerika, NATO, Ukraina dan Rusia. Saya kira ini penting agar semua dapat berpartisipasi pada agenda G20 nanti,” katanya.
Ruman mengatakan, dari sisi aspek hukum internasional terdapat tiga pokok penting yang perlu diperhatikan bersama dalam kasus Rusia dan Ukraina. Ketiganga adalah masalah kedaulatan, intervensi, dan pengaruh terhadap Indonesia. Apalgai secara hukum, Rusia sudah melanggar kedaulatan Ukraina yang bisa dilihat pada pasal 1 ayat 2 piagam PBB.
“Masalah kedaulatan ini seperti yang kita tahu bahwa Ukraina sebagai negara berdaulat, tetapi kenapa tidak bisa mengajukan klaim ke mahkamah internasional? Hal ini menjadi pertanyaan besar, dimana Rusia merupakan pemegang hak facto di dewan keamanan. Dalam hal kedaulatan suatu negara, negara boleh saja mengklaim suatu wilayah, tapi wilayah negara yang tidak bertuan, sehingga jelas yang dilakukan Rusia adalah pelanggaran,” paparnya.
Berikutnya, kata Ruman, dalam segi ekonomi Rusia dan Ukraina memiliki jumlah investasi yang cukup besar di Indonesia. Tapi kekuatan tersebut justru sangat menguntungkan Indonesia untuk berbuat lebih dalam hal perdamaian.
“Dengan jalur ekonomi Indonesia saat ini, menurut saya dapat membantu mendamaikan peperangan tersebut,” katanya.
Sementara itu, Dosen Program Studi Rusia Universitas Indonesia, Ahmad Fahruroji meminta semua negara ikut terlibat dalam melakukan perdamaian antar kedua negara. Termasuk negara Indonesia yang memiliki peran lebih dalam banyak aspek.
“Indonesia sudah menegaskan bahwa aturan yang ada di piagam PBB harus dipegang teguh oleh negara-negara agar tidak melanggar hukum internasional dan kedaulatan suatu negara. Indonesia bisa kok memberi nasehat pada dewan keamanan agar bersikap tegas,” katanya.
Fahruroji menceritakan, secara singkat perang tersbut bisa dibaca dari sejarah domestik pasca naiknya Vicron Yanukovich yang pro-rusia dan adanya aksi Euromaidan dan revolusi yang di dukung Uni Soviet. Ada juga negara yang lepas dan masuk kedalam federasi Rusia serta terjadinya pergolakan di wilayah Ukraina Timur seperti Donbass yang memiliki milisi anti Kiev yang di dukung Rusia.
“Secara Regional dan Internasionalnya dititik beratkan pada Hubung Rusia Ukraina terpecah sejak retaknya Uni Soviet, ada Ancaman perluasan NATO ke Benua Timur dan beberapanegara yang ex Blok masuk kedalam NATO. Serangan Militer dari Rusia ke Ukraina disebabkan oleh tidak dipatuhinya Memorendum Minsk (24 September 2014) dan permohonan dari Republik Rakyat Luhansk dan Donetsk,” katanya.
Di tempat yang sama, Dosen Hukum Internasional yang juga Akademi Hukum Rusia Kementerian Yustisia Federasi Rusia, Raymond Junior mengatakan bahwa dari segi politik AS dan barat telah membentuk diplomatik anatar negara-negara untuk membatasi Rusia.
Sedangkan respon Rusia dalam bidang politik adalah, menggalang kekuatan ODKB/CSTO, Revitalisasi BRICS, SCO.
“Jika kurang efektif, Rusia akan TurnTo east artinya Povorot Na Vostok (Menoleh Ke Timur) dan Vozvqrsheniye Na Vostok (Kembali ke Timur). Adapun untuk Ukraina, akan dibantu oleh negara barat dalam persenjataan dan menciptakan Ukraina sebagai negara Palestina ke II,” katanya.
Raymond mengatakan, dalam memahami permasalahan perang ini harus memiliki referensi dan pembelajaran yang baik. Tidak bisa hanya mengutip dari media baik itu sudut pandang Rusia ataupun Ukraina. Kalaupjm jika menilisik dari Hubungan Ekonomi, apabila Rusia dikeluarkan dalam G20 tentunya akan berubah menjadi G19.
“Pada akhirnya kegiatan ini akan memiliki 2 pilihan yaitu Baik atau Buruk. Mengingat, Rusiamerupakan negara yang memiliki pemasokan terbesar atas gandum,” katanya.