Oleh :
D. Nicky Fahrizal
Selain mereformasi secara kultural institusi Polri, juga dibutuhkan upaya menata kembali kekuasaan Polri di dalam ekosistem keamanan nasional. Ini sebagai bentuk pengendalian kekuasaan Polri yang luas dan besar.
Tragedi yang berturut-turut menimpa Polri selama Juli hingga Oktober 2022 merupakan kesempatan yang baik untuk membenahi institusi kepolisian secara serius sehingga melahirkan kembali institusi yang akuntabel dan dapat dipercaya masyarakat. Kondisi ini juga merupakan ruang kesempatan untuk menata kembali kekuasaan Polri sebagai aktor keamanan di dalam ekosistem keamanan nasional sehingga tercapai keseimbangan kekuasaan dengan aktor keamanan lainnya.
Selama periode tersebut, berdasarkan laporan Litbang Kompas pada infografis harian Kompas pada 15 Oktober 2022, terdapat empat kasus hukum krusial yang dari sudut pandang publik mempertanyakan akuntabilitas institusi kepolisian.
Pertama, pada 8 Juli 2022, pembunuhan Brigadir J yang melibatkan Kadiv Propam Polri saat itu, Ferdy Sambo. Kasus ini juga telah menciptakan peristiwa hukum lainnya yang melibatkan perwira tinggi dan menengah Polri, yaitu obstruction of justice atau penghalangan penyidikan di tengah kasus pembunuhan tersebut.
Kedua, pada 4 September 2022, terjadi penembakan oleh Aipda Rudi Suryanto, anggota Polri di Kepolisian Sektor Way Pengubuan, Lampung, terhadap sesama anggota Polri, yaitu Aipda A Karnain, hingga tewas.
Ketiga, pada 1 Oktober 2022, dugaan tindakan berlebihan atau represif kepolisian seusai pertandingan Liga Sepak Bola Indonesia antara Arema Malang dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan menyebutkan bahwa tindakan polisi menembakkan gas air mata ke arah penonton di tribune dan luar lapangan mengakibatkan kematian bagi penonton.
Keempat, pada 14 Oktober 2022, Irjen Teddy Minahasa ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus narkoba. Sebagai tindakan lebih lanjut, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menyatakan penetapan yang bersangkutan sebagai Kapolda Jawa Timur dibatalkan.
Dalam perkembangannya, kasus ini juga melibatkan empat anggota aktif Polri, yakni Kepala Bagian Pengadaan Biro Logistik Polda Sumatera Barat Ajun Komisaris Besar D, Kepala Kepolisian Sektor Kalibaru Komisaris KS, Aiptu J dari Satuan Narkoba Polres Metro Jakarta Barat, dan Aipda AD yang bertugas di Polsek Kalibaru (Kompas, 16 Oktober 2022).
Presiden Joko Widodo menyebut, kasus Ferdy Sambo membuat anjloknya tingkat kepercayaan publik kepada Polri. Jokowi menyebut, pada November 2021, kepercayaan publik ke Polri mencapai 80 persen dan kini tinggal 54 persen.
Bertolak atas keempat peristiwa tersebut, terdapat dua pesan kunci yang dapat kita tarik. Pertama, atas peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, ini merefleksikan budaya kekerasan atau police brutality yang masih mengendap di dalam kerangka berpikir dan gelagat anggota kepolisian yang bertugas sebagai tenaga pengamanan (steward), dan ketiadaan ketentuan penanganan massa yang selaras dengan standar Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Maka, jalan keluar yang bisa ditempuh untuk mengatasi budaya kekerasan adalah reformasi kultural di tubuh Polri.
Reformasi kultural Polri tidak hanya memperbaiki budaya kekerasan yang laten, tetapi juga untuk mengatasi gaya hidup anggota Polri, yang juga menjadi perhatian khusus Presiden Joko Widodo. Dalam arti lain, reformasi kultural adalah upaya pemecahan dua masalah yang nyata di institusi kepolisian, yaitu gaya hidup hedonistik dan kerangka berpikir yang represif.
Reformasi kultural adalah upaya pemecahan dua masalah yang nyata di institusi kepolisian, yaitu gaya hidup hedonistik dan kerangka berpikir yang represif.
Maka, ikhtiar yang dapat ditempuh adalah melalui penyempurnaan kode etik profesi dan perbaikan peraturan internal, yang salah satu substansinya mencakup kewajiban melaporkan penambahan kekayaan dan berasal dari mana kekayaan atau harta tersebut diperoleh, serta penguatan kanal pelaporan masyarakat. Pada akhirnya terdapat perbaikan aspek kultural yang menghasilkan penyegaran profil anggota Polri.
Dalam kerangka penyegaran tersebut, profil anggota Polri harus diarahkan kepada karakter keanggotaan kepolisian yang humanis dan berintegritas yang terdiri dari sikap yang lebih berpihak pada kelompok yang lemah atau rakyat kecil, ugahari, berdampak pada penguatan institusi, kepemimpinan yang melayani, visioner, serta memiliki ketaatan yang tinggi pada etika publik, moral, dan hukum.
Kedua, berefleksi terhadap kasus Sambo serta kasus narkoba yang melibatkan Teddy, secara fundamental kondisi ini mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Pada konteks penyalahgunaan kekuasaan secara esensial tidak terlepas besarnya kekuasaan Polri yang dijamin oleh konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 amendemen ke-empat. Bahkan, besarnya kekuasaan tersebut menempatkan Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) dan keamanan dalam negeri (kamdagri), penegak hukum, hingga sebagai pelayan publik.
Andaikata kita melihat lebih dalam lagi keempat komponen tersebut, maka pada tatanan undang-undang, khususnya UU No 2/2002 tentang Polri (UU Polri), yakni Pasal 14 Ayat (1) yang terkait dengan tugas-tugas Polri, serta Pasal 15 Ayat (1) dan (2) yang meliputi kewenangan Polri baik secara umum maupun kewenangan yang dimiliki oleh Polri sebagai konsekuensi berlakunya suatu produk perundang-undangan, merupakan suatu tugas dan kewenangan yang sudah melampaui ranah kamtibmas, penegakan hukum maupun kamdagri. Dalam arti lain, tugas dan kewenangan tersebut merefleksikan spektrum keamanan nasional.
Dalam analisisnya pada artikel ”Meniti Jati Diri Polri” (Kompas, 8/9/2022), J Kristiadi memberikan suatu pandangan bahwa kebijakan dalam amendemen Pasal 30 UUD 1945 dan Tap MPR No VI/MPR/2000 merupakan beleid yang parsial dalam membagi ranah keamanan dan pertahanan bagi dua aktor utama TNI dan Polri, akibatnya telah menimbulkan tiga dampak konstitusional. Pertama, penafsiran yang rancu atas Pasal 30 UUD 1945 dan produk turunannya. Kedua, potensi konflik kewenangan dan kepentingan antara TNI dan Polri. Ketiga, menebalnya ego sektoral.
Problem dasar
Di sisi lain, Tajuk Rencana Kompas yang berjudul ”Peringatan Presiden untuk Polri” (17/10/2022) melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis dan reflektif, yang mempertanyakan dengan besaran anggaran yang signifikan dan banyaknya pejabat polri memegang jabatan sipil, mengapa Polri tetap dilanda masalah. Lalu, memberikan pertanyaan kunci, apakah masalah-masalah yang muncul adalah problem organisasi ataukah problem lainnya.
Berdasarkan dua pandangan tersebut, kita memperoleh jawaban bahwa problem dasar yang pertama terletak pada problem kultural, yang opsi solusinya adalah reformasi kultural di internal Polri. Namun, di sisi yang lain juga terdapat problem mendasar lainnya, yang terletak pada tugas dan wewenang kepolisian yang besar, yang melampaui ranah kamtibmas, penegakan hukum, dan kamdagri. Oleh karena itu, perbaikan juga diperlukan terhadap tugas dan kewenangan Polri yang diletakkan sebagai aktor keamanan nasional melalui perumusan secara holistik Undang-Undang Keamanan Nasional.
Perumusan UU Keamanan Nasional adalah kebutuhan hukum dan politik yang diperlukan untuk menyeimbangkan tugas dan wewenang antar-aktor keamanan nasional yang ada di dalam semesta keamanan nasional. Lebih dalam, UU Keamanan Nasional wajib memuat beberapa hal pokok.
Pertama, memanifestasikan kepentingan nasional RI yang ditarik dari Pembukaan UUD 1945, berintikan prinsip dasar yang menjadi keprihatinan rakyat Indonesia di bidang keamanan (constituent power) dan kedaulatan nasional (national sovereignty) yang terdiri atas kedaulatan ke luar; menjaga ketertiban dan perdamaian dunia, dan kedaulatan ke dalam; menjaga ketertiban, keamanan, dan kedamaian dalam negeri (Voermans, Stremler & Clieteur, 2017).
Kedua, memberikan definisi secara tepat antara konsepsi kamtibmas, kamdagri, dan keamanan nasional sendiri. Ketiga, setelah dirumuskannya konsepsi kamtibmas, kamdagri, dan keamanan nasional, maka aturan keterlibatan atau rule of engagement dapat dirumuskan sehingga dapat mengikis hambatan sektoral dan konflik kewenangan dari setiap aktor keamanan, seperti; TNI, Polri, komunitas intelijen, pemangku keamanan nasional lainnya.
Terakhir, selain aturan keterlibatan sebagai elemen pokok di dalam UU Keamanan Nasional, diperlukan juga perumusan apa yang menjadi kepentingan nasional dan ancaman keamanan nasional. Dengan demikian, pada akhirnya nanti dapat dirumuskan strategi keamanan nasional Republik Indonesia yang dapat disesuaikan dengan perubahan dinamika geopolitik.
Apabila kita melihat lebih dalam lagi, justifikasi perumusan kerangka keamanan nasional tidak dapat dilepaskan atas evolusi ancaman terhadap keamanan nasional yang bergerak secara cepat dan tidak hanya dalam bentuk tradisional, tetapi multi-dimensional.
Sebagai komparasi, Pemerintah Belanda memberikan analisis khusus untuk mengkaji ancaman dan cara mencegahnya. Hal ini juga termasuk dalam merinci kepentingan nasional yang fundamental, yang meliputi; keamanan wilayah negara dari pendudukan militer sampai dengan banjir, keamanan ekonomi termasuk dengan gangguan jaringan internet hingga transaksi keuangan, keamanan lingkungan, keamanan fisik yang berkaitan dengan warga negara, stabilitas sosial dan politik yang berkaitan dengan penegakan hukum, serta kontra-terorisme (National Security; Government of the Netherlands).
Di lain pihak, terkait dengan kebijakan keamanan nasional, Pemerintah Inggris merumuskan National Security and Investment Act (2021). Melalui kebijakan hukum ini, Pemerintah Inggris meletakkan keamanan ekonomi sebagai perihal yang vital terkait dengan keamanan nasional karena berkaitan dengan posisi Inggris sebagai pusat finansial dunia. Rezim hukum baru tersebut telah memberikan panduan dan penilaian kepada pemerintah untuk menggunakan kekuasaannya ketika terjadi peristiwa pemicu yang dapat meningkatkan risiko bagi keamanan nasional Inggris.
Pendek kata, berdasarkan dua komparasi tersebut, kita dapat memberikan penilaian bahwa evolusi ancaman keamanan nasional terus beralih dalam sifat multidimensional sehingga dibutuhkan keberanian untuk menjawab tantangan keamanan nasional, yang berupa keteguhan jiwa yang ditopang pengetahuan akan kebaikan yang diharapkan dan keburukan yang mesti ditakuti (Setyo Wibowo, 2021).
Oleh karena itu, sikap enggan dalam merumuskan definisi kamtibmas dan kamdagri di dalam ekosistem keamanan nasional hanya akan mendorong institusi kepolisian terjerumus ke dalam kondisi potensial penyalahgunaan kekuasaan karena luas dan besarnya wilayah tugas dan kewenangan.
Sebagai penutup, untuk mengatasi potensi penyalahgunaan kekuasaan kepolisian yang berkelindan dengan dimensi keamanan nasional, maka perlu diselaraskan dengan tugas dan wewenang aktor keamanan lainnya serta pemangku keamanan yang terkait. Oleh karena itu, Undang-Undang Keamanan Nasional perlu dirumuskan untuk meletakkan tuntutan normatif keterlibatan antar aktor keamanan, penyelesaian perdebatan konsep kamtibmas, kamdagri, dan keamanan nasional, perumusan terperinci kepentingan nasional, serta penguatan relasi sipil dan militer.
D Nicky Fahrizal, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta