Jakarta – Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTKIN) seluruh-Indonesia menggelar diskusi publik yang bertempat di Kawasan Jakarta Selatan, Rabu (6/3/2024).
Kegiatan dengan tajuk ‘Memperkokoh Moderasi Pasca Pemilu Demi Terwujudnya Harmoni Kebangsaan’ sekaligus menyinggung persoalan Hak Angket dihadiri jajaran Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia dan Masyarakat.
Acara yang motori Koordinator Pusat DEMA PTKIN Se-Indonesia M Syahrus Sobirin ini berlangsung dinamis dan interaktif. Sobirin mengungkapkan dalam diskusi yang digelar, bahwa untuk menjaga kondusifitas negara, kita memberikan sekolah politik kepada kawan kawan mahasiswa dan masyarakat.
“Karena masyarakat yang sekarang didominasi kaum Gen Z dan milenial harus lebih peka lagi kepada situasi politik hari ini. Dinamika setiap pemilu selalu terjadi tuduhan kecurangan oleh pihak yang kalah. Dinamika politik seperti ini memicu perpecahan di masyarakat yang kemudian membuat stabilitas keamanan terganggu di daerah-daerah,” ujarnya.
Menurut dia, mengutip salah satu Kaidah Usul Fiqh yang artinya jika ada dua mudharat yang berkumpul maka yang lebih besar harus digugurkan, untuk melakukan yang lebih kecil.
Sobirin mengaitkan hal itu dengan hak angket yang ramai baru baru ini, berbau politis mengingat gimmick serta motif yang dimunculkan tidak merepresentasi objektifitas pemilih.
“Karena ada mekanisme pemilu yang bisa kita tempuh selain dari pada hak angket, hak angket ini resisten dengan kepentingan elektoral elit politik saja,”
Oleh sebab itu Sobirin mengajak kepada seluruh elemen mahasiswa untuk bersama-sama untuk kembali berbicara kesejahteraan masyarakat guna terwujudnya kerukunan NKRI.
“Pentingnya membuka diri untuk pemerintah menerima masukan dari akademisi, organisasi, masyarakat termasuk peran dari generasi muda untuk membangun daerah dan harapan masyarakat untuk sejagtera dapat terlaksana dengan baik,” jelas Sobirin.
Sementara, Marwansyah selaku Akademisi sekaligus narasumber pertama, menyampaikan bahwa moderasi merupakan langkah konkrit dalam menjawab hiruk pikuk permasalahan di Indonesia. Dimana moderasi berada di pertengahan turut berkontribusi dalam mengcounter Pemilu karena berbeda pilihan.
“Kita sudah melewati secara bersama tanggal 14 Feberuari 2024 kemarin, dimana pesta demokrasi Indonesia tanpa terkecuali ini ada peran masyarakat atau rakyat. Pemilu adalah represtasi dari musyawarah dalam menentukan pemimpin di bangsa ini,” pungkasnya.
“Masyarakat harus kita ingatkan mengenai moderasi, intrik dari pasca pemilu selalu ada tragedi tragedi. Sebagai kaum akademis agar tidak tersulut emosi dengan ha-hal negatif dan harus mementingkan kemanusian,” tambahnya.
Pada kesempatan itu, Harry Ahmad Gunawan sebagai narasumber kedua mantan aktivis yang aktif mengikuti perjalanan pasang surutnya dinamika politik di Indonesia mengatakan, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 menyebutkan Indonesia sebagai negara hukum, pada semua hukum itu ada politik dimana kekuasaan diatas segalanya.
“Pertama ketika memahami dasar demokrasi semestinya selesai ketika konsepnya disesuaikan dengan Pancasila,” katanya.
“Kedua politik itu akan bercabang menjadi politik elektoral, birokrasi pemerintah maupun timbul secara langsung kepada publik,” tambah Harry.
Masih menurut, Harry mahasiswa menjadi elemen penting dalam menyuarakan pesan-pesan moderasi kepada publik.
“Mahasiswa yang tergolong generasi milenial, pada diskusi ini harus lebih aktif untuk menyuarakan moderasi itu dimaknai secara dalam, hal yang sederhana ini mencerminkan Pra Kemerdekaan, Pra Orde lama dan Orde baru itu secara bersama merumuskan dengan diskusi,” tukasnya.