Apkasindo Dukung Kebijakan Pemerintah Naikkan Tarif PPN 12 Persen

PEKANBARU – Pemerintah akan memberlakukan tarif baru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada 1 Januari 2025.

Pajak PPN 12 persen ini implementasi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mendukung kebijakan pemerintah menaikkan PPN 12 persen yang berlaku mulai 1 Januari 2025 asalkan melakukan beberapa terobosan untuk menjaga keseimbangan.

Ketua Umum Apkasindo Gulat ME Manurung menilai kenaikan PPN 12 persen memang dibutuhkan negara untuk tujuan membiayai pembangunan yang semakin fokus ke infrastruktur dan SDM.

“Menurut saya memang nggak masalah naik PPN. Karena memang negara ini membutuhkan dana dari partisipasi semua anak bangsa, termasuk kami petani sawit. Namun sering kali kami pekebun ini dituduh tidak bayar PPN, karena penuduhnya tidak memahami struktur rantai pasar TBS sampai ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS),” ujar Gulat, Jumat (22/11/2024).

Gulat yang sedang berada di Bandung untuk menghadiri acara Most Popular Leader Excellent Award 2024 ini menilai, terobosan pemerintah yang pihaknya harapkan adalah bagaimana strategi supaya petani kecil bisa merestitusi beban PPN atas penjualan TBS kami dengan menselaraskan beban PPN Saprodi (sarana produksi).

Namun ada masalah besar terkait restituasi ini karena misalnya dari 1.000 petani sawit paling 1 orang yang PKP (pengusaha kena pajak) dimana syarat restitusi adalah harus PKP yang omzet per tahunnya harus lebih dari Rp4,8 M. Sementara petani kecil paling omzet pertahunnya sekitar Rp25-45 juta, sangat jauh.

“Beban PPN TBS maupun PPN input perkebunan pada petani sawit dapat direstitusi jika petani sawit memiliki legalitas usaha seperti koperasi atau petani perorangan asalkan sudah menjadi PKP yang omset per tahunnya lebih dari Rp4,8M,” kata Gulat.

Gulat menyebut semua pihak pasti tahu, bahwa kenaikan PPN terhadap industri perkebunan sawit akan meningkatkan penerimaan pemerintah secara signifikan, namun menjadi beban bagi petani sawit.

Kemudian Gulat menguraikan bahwa sebagaimana diketahui PP 31/2007 yang membebaskan PPN komoditas pertanian primer termasuk TBS dan CPO telah dibatalkan oleh keputusan MA No. 70P/2013, sehingga TBS dan CPO merupakan objek PPN sejak putusan MA tersebut berlaku.

Namun dalam putusan MA tersebut, pemerintah memberikan alternatif dimana perusahaan yang bahan bakunya TBS untuk menghasilkan CPO dalam proses produksinya, dapat mengajukan restitusi pajak ke pemerintah agar tidak menanggung pajak berganda PPN yang merupakan pajak tak langsung atau advalorem tax.

Sebagai pajak tak langsung, kata Gulat, beban PPN memungkinkan terjadinya transmisi beban PPN dari sektor industri hilir ke industri hulu (perkebunan) mengingat semua transaksi sepanjang mata rantai minyak sawit dari hilir ke hulu merupakan objek PPN.

PPN yang ditarik dari eksportir hasil sawit maupun industri hilir melalui mekanisme transaksi sepanjang mata rantainya, akan dialihkan dari industri hilir ke produsen CPO dan produsen CPO ke pemilik TBS yang artinya petani sawit lah yang menanggung beban PPN tersebut (yang membebankan PKS sebagai pembeli TBS Petani) karena petani sawit tidak memiliki daya dukung untuk merestitusinya kembali ke pemerintah (konsep satu beban pajak), padahal ketika membeli pupuk dan sparodi lainnya petani sawit sudah menanggung PPN.

“Sementara Industri hilir dan produsen CPO yang umumnya adalah perusahaan (PKP dan memiliki dokumen lainnya) dapat merestitusikan PPN masukan. Misalnya industri biodiesel, industri minyak goreng, industri oleokimia yang menggunakan CPO sebagai bahan baku dapat merestitusi PPN CPO (bahan baku) ke Pemerintan,” ulasnya.

Demikian juga perusahaan CPO yang membeli TBS dari produsen TBS (petani sawit) dapat merestitusi PPN masukan. Perusahaan perkebunan sawit juga dapat merestitusi PPN masukan (pupuk dan Saprodi lainnya) demikian seterusnya.

“Nah bagaimana dengan kami petani sawit ?. Petani sawit perorangan atau bahkan Poktan atau juga Koperasi yang umumnya bukan PKP, tidak bisa merestitusi PPN sehingga beban PPN yang diberlakukan dalam pembelian TBS oleh perusahaan PKS akan menjadi beban petani sawit dalam bentuk pengurangan harga beli TBS, jadi secara eksisting petani sawit lah yang menanggung beban PPN tersebut” kata Gulat.

Kemudian, sambungnya, perlu juga diketahui bahwa petani sawit sebagai pengguna pupuk, pestisida, bibit sebagai input perkebunan sawit juga menerima beban PPN dalam bentuk peningkatan harga input. Sehingga beban petani sawit menjadi double yakni dari penjualan TBS (menanggung PPN) dan dari pembelian Saprodi (menanggung PPN).

“Oleh karena itu saya pastikan kenaikan PPN 12 persen tersebut bakal berdampak terhadap para petani sawit, khususnya tertekannya harga tandah buah segar (TBS) karena PPN nya akan dibebankan pembeli TBS (PKS) ke petani. Sebab, apapun beban di PKS dan sektor hilir, itu akan ditimpakan ke sektor hulu atau TBS,” cakapnya.

“Saya berpendapat tidak masalah berat bagi kami petani sawit jika pemerintah mengiringi dengan strategi menjaga harga TBS pekebun supaya establish di atas Rp3.000-Rp3.500 per kg (saat ini). Kalau harga TBS di bawah Rp2.500 memang berat,” ucap Gulat

Jadi pertambahan PPN ini secara debet-kredit akan pihakmya masukkan secara tidak langsung ke debet atau biaya produksi total. Artinya, jika biaya produksi bertambah (karena beban PPN tadi) maka margin petani akan berkurang.

Dia mencontohkan, saat ini, harga TBS Rp3.200 untuk petani swadaya di Sumatera dan beberapa pulau di Kalimantan dan harga pokok produksinya sebesar Rp2.100, maka marginnya sebesar Rp1.100. dengan perhitungan tersebut, artinya pendapatan petani akan jatuh di kisaran Rp800 ribu/ha/bulan.

“Dengan rerata kepemilikan lahan petani 4,2 ha maka pendatan petani sawit rerata Rp3,36 juta/bulan, lumayanlah sedikit diatas UMR Riau Rp3.451.584,” tuturnya.

“Nah apa jadinya jika harga TBS Pekebun hanya Rp2.400/kg, maka petani hanya membawa uang ke rumah Rp300/kg TBS-nya atau Rp240.000/ha/bulan atau jika 4,2 ha maka pendapatan perbulan pekebun adalah Rp1.008.000,” lanjutnya.

Oleh karena itu, Gulat mengatakan sangat perlu menjaga harga TBS agar pekebun bersemangat menanggung beban pajak-pajak seperti PPN tadi (melalui berkurangnya margin), selain menjaga harga TBS juga harus dilakukan strategi optimalisasi produktivitas kebun sawit rakyat sehingga beban PPN bisa tertutupi dengan meningkatnya produksi TBS.

Menurut dia, menjaga keberlangsungan hidup petani sawit, sangat bersesuaian dengan poin ke 6 Asta Cita Presiden Prabowo yaitu membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.

“Itu harus menjadi ‘googlemap’ semua menteri/L Kabinet Merah Putih, pembantu Presiden, sebab visi misi itu hanya visi Presiden Republik Indonesia,” tukasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *