Jakarta – Praktisi Hukum dari Universitas Surabaya Marianus Gaharpaung angkat bicara perihal alasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak kunjung panggil Gubernur DKI Anies Baswedan, Bank DKI maupun JakPro soal kasus Formula E.
“Biasanya tidak bisa langsung cokot (panggil) yang di atas (pejabat). Karena apa?, Pertama, adalah yang tahu soal penyelenggaraan ini berhasil atau tidak kan yang di bawah. Yang kedua, yang di bawah ini pasti menceritakan apa adanya sesuai realita yang ada,” ungkap Marianus, hari ini.
Menurutnya, setelah memeriksa saksi-saksi di bawah dan (KPK) sudah tahu betul-betul persoalan yang sesungguhnya dan ditemukan dugaan pelanggaran atau penyimpangan, maka tahap berikutnya memeriksa pejabat sebagai pengambil kebijakan.
“Jadi jarang sekali langsung mencokot Bupati atau Gubernur. Biasanya cokot dulu di bawah, misalnya kepala dinasnya karena dia yang mengelola dana dan diperuntukkan untuk apa,” ujarnya.
Kata dia, karena ini menyangkut kebijakan dan kebijakan bisa menjadi pidana. Jadi ketika melanggar peraturan perundang-undangan atau menyalahgunakan wewenang maka itulah yang dikatakan korupsi.
“Dengan dasar keterangan di bawah, barulah menyentuh atau mencokot orang di atasnya,” ucapnya.
Menurutnya, kalau mencokot orang di atas itu berbicara tentang dua pasal saja, yaitu pasal 2 tentang melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat, dan pasal 3 tentang penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat. (Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
“Melanggar hukumnya apa? Penyelenggaraan ini sesuai nggak dengan aturan. Ini untuk kepentingan publik atau kepentingan siapa?,” sentilnya.
*Proses Penyelidikan Formula E Terkesan Berlarut-larut???*
Marianus menyakini proses penyelidikan kasus balap mobil listrik ini tidak lama. Artinya, kata dia, bagi dirinya fungsi penyelidikan untuk membuktikan sekurang-kurangnya dua alat bukti.
“Jadi 1.000 orang saksi pun itu baru satu alat bukti, karena barang bukti saksi. Jadi harus didukung bukti lain, apakah bukti tulisan, surat atau ahli,” ujarnya.
“Jadi ini bukan soal lama atau tidak, tapi bagaimana lembaga antirasuah memenuhi dua alat bukti baru dinaikan ke tahap penyidikan. Setelah di penyidikan disitulah ada penentuan tersangka,” paparnya.
Bagi dia, proses penyelidikan tidak lama dan ini strategi perang KPK, memeriksa yang di bawah dulu baru pejabatnya. “Andaikan pejabatnya tidak diperiksa maka KPK juga tidak objektif, tebang pilih,” kata dia lagi.
“Jadi pemeriksaan saksi-saksi di bawah itu bagian dari strategi penyelidikan. Tapi kalau KPK tidak cokok yang di atas maka KPK tidak objektif,” tuturnya.
Disebutkannya, bicara korupsi itu ada dua alat ukurnya, melanggar hukum dan penyalahgunaan wewenang. Karena, kata dia, yang melanggar hukum itu orang-orang atas, bukan orang-orang bawah.
“Di bawah hanya pelaksana kok. Jadi kalau orang yang punya kewenangan di atas tidak dicokot, diperiksa, bagi saya itu tidak objektif. Karena yang menyangkut pelanggaran hukum dan wewenang itu pejabat,” tambahnya.
‘Bagian dari eksaminasi atau uji publik maka KPK harus selalu memberi informasi kepada publik sehingga publik bisa menilai layak atau tidak, transparan atau tidak, objektif atau tidak,” pungkasnya.